kata juang

Standar

Kata Juang

Indahnya menghirup udara dikota kecil ini. Kutatap bangunan di mana kini aku akan berkuliah. Ospek bahkan keliling kampus telah aku lakukan. Air mata kini jatuh, tak percayaakan kehidupan ini. Aku benar-benar menjadi mahasiswa. Sebuah hal besar aku coba lalui. Di mana aku harus berjuang dari SMA dulu.

Bersyukurnya aku mengenal mereka, yang mengajarkanku untuk berani bermimpi. Berani untuk menggapai impian dengan berani memimpikannya. Dulu aku seperti gila, menulis pada dinding kamarku, keinginanku untuk berkuliah, punya laptop, motor, mobil, dan haji untuk orang tuaku. Kini satu tagetku aku capai. Berkuliah di universitas ini. Meski tak terbaik, tapi ini adalah jalan Tuhan untukku.

Satu tahun lalu, aku bekerja di pabrik roti di daerah dulu aku tinggal. Tiap jam istirahat kala teman-temanku menggunakkan jam istirahat itu untuk tidur, aku menulis dan mengingat dengan angan-angan akankah bisa aku menjadi mahasiswa. Aku mencoba membuka banyak peluang, dengan berbisnis, dengan bekerja. Tapi pada akhirnya satu langkah awalaku gagal. Saat itu aku pikir betapa bodohnya   aku ini. Di saat aku tak punya uang lagi untuk mendaftar kuliah, aku salah mengisi draf-draf untuk mendaftar.

  • Kerja

Taukah engkau, saat itu, begitu gila, stressnya aku. Orang-orang tau bahwa aku kan berkuliah. Tapi satu langkah awalaku gagal. “tuhan apa ini bukan jalanku untuk berkuliah?” aku menjerit dalam hati. Waktu berlalu, aku benar-benar tak punya uang untuk mendaftar lagi, hingga pendaftaran mahasiswa di universitas yang aku inginkan telah ditutup. Begitu bodohnya aku.

Aku bercerita pada seseorang yang dulu spesial dalam hidupku. Dia memberikan pendapatnya, agar aku terus berkuliah, dan terus meminta pada-Nya. Aku melakukannya. Dan taukah kau ,Tuhan mengabulkan doaku. Terimakasih Tuhan. Seorang teman memberikan kabar, bahwa Universitas yang aku inginkan, ada perpanjangan pendaftaran lagi.“Tuhan inikah jawaban dari pertanyaanku.”

Ya, dibalik kesenangan ada saja hambatan. Satu masalah lagi, aku tak ada sepeserpun uang untuk mendaftar. Dikala itu, aku teringat sebuah ucapan yang sangat berarti untuk hidupku hingga saat ini. Sebuah ucapan sederhana dari guru BK (bimbingan konseling) saat SMA. “ketika kamu tak berani untuk melangkah maka kamu takakan pernah bisa untuk mengubah nasip keluargamu. Kalau tidak dimulai dari kamu, mau dimulai dari mana keberhasilan keluargamu.”

Aku bercerita dengan guruku. Dan betapa indahnya hidup ini, beliau mau membantuku untuk membayar biaya pendaftaran.Ya Allah, tuhanku. Terimakasih.

Satu bulan lebih aku hidup di Salatiga. Aku ijin tiap kali aku berangkat dari rumah, kalau aku akan bekerja dan beberapa hari baru akan pulang. Kala itu keterpaksaanku membuatku untuk terus berbohong pada ayahku. Aku hanya masih terlalu takut akan berbagai ucapan yang dilontarkan padaku dan kakakku. Aku tak boleh kuliah. Entah… pandangan ayah dan orang di sekitar rumahku memandang kalau kuliah bukanlah hal yang penting dalam hidup.

Hingga di penghujung bulan Oktober, beliau tau kalau anak keduanya ini telah berkuliah. Kala itu aku takut, menangis, sedih, dan aku hanya berpikir untuk mundur. Tapi lagi-lagi semangat dari mereka orang-orang yang mendukungku terus terngiang dalam telingaku. Aku memutuskan tetap melangkah.

Satu bulan lebih aku tak pulang, aku kesepian, kelaparan, dan kebingungan terus berputar-putar dalam pikiranku. Apakah ini hanya cobaan, atau cerita-cerita yang akan aku lalui dalam kesuksesanku.

Tepat pada tanggal 3 Desember 2013, aku mendapatkan pekerjaan di Kampung Kopi Banaran, Bawen. Meski gaji Cuma 25 ribu saja, aku sangat bersyukur. Aku kerja tiap hari sabtu dan minggu, terkadang aku membolos kuliah karena tidak punya uang dan bekerja. Hal bodoh mungkin, tapi itulah aku.

Pada tanggal 20 Mei 2014, kakakku menikah. Dan pada bulan itu pula, aku benar-benar lepas, tidak ada yang membiayaiku. “bagaimana ini, ya Allah”. Kebingungan ini terus saja menghantuiku, aku harus mencari uang untuk makan, untuk transport, untuk membayar kuliah. Saat itu aku hanya meminta pada-Nya, mudahkan aku ya Allah.

Pada bulan September aku pindah dari Ma’had ke kos di Pengilon. Begitu banyak pertimbangan aku ke sana, selain lebih murah, di sana ada kawanku Ana.

Dua bulan berlalu, semakin lama terjadi keganjilan. Aku tidak tahan di sini. Kenapa teman-teman kos menjadi begitu aneh, dan begitu menyebalkan. Tuhan…apalagi ini?

Tepat pada tanggal 3 Maret aku resmi pindah ke Pondok Darul Husna Blotongan. Pondok sederhana ini baru saja di bangun, santrinya pun masih 4 orang. Di sana aku belajar, sholat jamaah (Maghrib, Isya’, dan Subuh), di sana pula aku mengabdi di TPQ.

Tidak semudah yang aku pikirkan berada di pondok pesantren ini. Aku harus membagi kuliah, organisasi, kerja, dan kewajiban pondok. Aku begitu banyak belajar ya Allah.

Sampai hari ini aku, menjalani kehidupanku dengan begitu saja. Masih begitu banyak target yang ingin aku capai. Dan dengan ilmu Man Jadda Wajada, insyaAllah aku bisa.

Tinggalkan komentar